Jumat, 23 Januari 2009
Kisah Nyata
Hebat, Gowa Gratiskan Pendidikan sampai SMA | ||||||
Oleh arif | ||||||
| ||||||
Klik untuk melihat foto lainnya... | ||||||
Pelayanan Pendidikan Sumber: kompas.com/(NAR/JON) |
KISAH KESAKSIAN YANG MASIH AKAN BERLANJUT
Bola Sepak, Bola Basket dan Bola Bekel
Ada
tiga jenis permainan yang menggunakan bola yang sering dimainkan saat
saya kecil, yaitu bola sepak, bola basket dan bola bekel. Lain dari
anak-anak laki-laki pada umumnya, saya benar-benar membenci dua
permainan yang pertama. Tiap kali saya menendang atau melempar bola,
hanya cemoohan yang saya dengar. “Ha ha ha… lihat dia, menendang bola
seperti banci!”, atau “Kamu laki-laki atau perempuan sih?
Mana ada anak laki-laki melempar bola seperti itu?”. Sebaliknya, saat
saya bermain bola bekel dengan anak-anak perempuan, saya menerima
banyak pujian. Sejak itu saya memutuskan untuk lebih banyak bermain
dengan anak-anak perempuan. Di samping itu saya juga lebih tertarik
dengan hal-hal artistik seperti menggambar dan menyanyi. Mungkin Anda
bertanya-tanya apakah yang selanjutnya terjadi pada saya. Namun sebelum
saya lanjutkan, ada baiknya kalau saya ceritakan dulu asal mulanya:
Sejak
kecil saya selalu merasa jauh dari ayah saya. Bagi saya, ayah saya
adalah type ayah-ayah Asia pada umumnya. Sepulangnya dari kantor dia
akan bersembunyi di belakang koran sambil mengisap rokok Ardath
kesukaannya. Jarang sekali saya berbicara pada ayah. Lain halnya dengan
ibu saya. Dia memang sangat protektif terhadap saya, tapi saya sungguh
bisa merasakan bahwa ibu saya benar-benar sayang terhadap saya. Selain
dengan ibu, saya juga sangat dekat dengan dua kakak perempuan saya,
walaupun usia kami sebetulnya terpaut cukup jauh.
Saat
saya berusia delapan tahun, ibu saya meninggal dunia. Kejadian ini
terjadi secara tiba-tiba dan ini sangat memukul saya. Figur terdekat
yang selama ini terbukti sungguh-sungguh menyayangi saya tiba-tiba
hilang. Lenyap. Dan dia tidak akan pernah kembali. Itu saja yang bisa
saya mengerti saat itu. Sejak itu kakak perempuan saya memutuskan untuk
mengambil alih dalam mengasuh saya. Kami bertiga tinggal di rumah baru
sementara ayah saya tetap menetap di rumah kami yang lama. Tentunya
tanpa sepengetahuan saya, saya malah semakin jauh dari ayah saya dan
semakin dekat dengan kedua kakak perempuan saya. Kembali ke apa yang
saya ceritakan di atas, sejak itu saya mulai membenci hal-hal yang
dilakukan laki-laki, termasuk permainan mereka di sekolah yang selalu
berkisar antara sepak bola atau bola basket, dan saya lebih dekat
dengan figur perempuan.
Hal ini terus
berlanjut sampai suatu saat tiba-tiba saya menyadari bahwa saya
tertarik terhadap sesama laki-laki. Betapa terkejutnya saya. Berbagai
pemikiran pun timbul. Saya pasti nggak normal. Mana ada sih
yang mengalami hal seperti ini? Saya simpan “rahasia” ini selama
bertahun-tahun. Saya masih ingat setiap kali saya merasa tertarik
kepada laki-laki lain, baik itu hanya di film, di TV ataupun di
lingkungan sebenarnya, saya merasa sangat malu dan kotor. Tidak jarang
pula saya mengutuk diri sendiri. Walaupun saat itu saya belum mengenal
Tuhan yang sesungguhnya, saya sering memohon agar saya bisa “sembuh
dari kelainan yang saya derita” itu. Namun tidak pernah ada jawaban.
Duniaku Yang “Sesungguhnya”
Setamat
SMA, saya melanjutkan pendidikan saya ke salah satu kota di Australia.
Kakak perempuan saya memang benar-benar sayang terhadap saya dan dia
memberikan kesempatan bagi saya untuk belajar di luar negeri. Saya
mulai rajin ke gereja dan mengikuti kelas pemahaman Alkitab, walaupun
di tengah-tengah semua ini saya tetap simpan semua kebingungan saya
sendiri.
Suatu saat, ketika saya sedang
menghabiskan liburan studi di Jakarta, saya bertemu dengan seorang
teman laki-laki lama. Setelah hidup di Australia selama sekitar 2 tahun
pikiran saya menjadi lebih liberal. Singkat kata, kami mulai merasa
tertarik satu sama lain dan kami pun mulai menjalin hubungan. Dia
memperkenalkan saya pada teman-temannya, dan untuk pertama kalinya saya
mulai merasa saya bisa bebas untuk mengekspresikan diri saya yang
“sesungguhnya”. Hubungan ini sungguh terasa indah pada mulanya, dan
terus berlanjut sebagai hubungan jarak jauh saat saya harus kembali ke
Australia. Bahkan dia mengunjungi saya dan kami sempat berlibur bersama
tahun berikutnya. Di tengah-tengah semua ini, saya tetap aktif
mengikuti berbagai kegiatan di gereja. Menyimpan rahasia adalah salah
satu keahlian saya saat itu.
Saat saya
kembali lagi ke Jakarta untuk berlibur pada kesempatan selanjutnya,
hubungan kami mulai terguncang. Hal-hal yang kami lakukan bersama
tiba-tiba tidak lagi terasa indah. Rasa iri, ketidak-percayaan,
kemarahan dan hawa nafsu, itulah yang sering mengisi hubungan kami.
Saya merasa tidak puas dengan apa yang terjadi dan mulai
bertanya-tanya, “Apakah yang terjadi? Mengapa semuanya berubah begitu
cepat? Bukankah hubungan kami baru berumur kurang dari 2 tahun?” Sempat
saya mencoba memutuskan hubungan ini, tapi pasangan saya menolak dan
bahkan mengancam untuk bunuh diri kalau sampai saya berani untuk
melakukan hal tersebut. Bahkan di tengah-tengah kekacauan ini, sempat
ada pihak ketiga yang turut “meramaikan” masalah. Itupun salah saya,
yang tidak lagi kuat menahan napsu. Nampaknya saya sudah mulai lepas
kendali. Namun kami tetap melanjutkan hubungan ini karena saya harus
kembali ke Australia dan tidak ada waktu untuk membicarakannya lebih
lanjut.
Sekembalinya saya ke Australia, saya
mulai sungguh-sungguh bertanya-tanya pada Tuhan, adakah jalan keluar
bagi saya. Saya sadar bahwa saya sudah mulai lepas kendali dan saya
tidak mau jatuh lebih dalam lagi. Saat itu untuk pertama kalinya saya
mendengar jawaban dari Tuhan setelah sekian lama saya berteriak meminta
jawaban mengenal masalah ini. Saya merasa Dia meminta saya untuk
memilih, apakah saya mau mengikut Dia atau pasangan saya. Hanya satu
yang boleh saya pilih. Pilihan yang sulit. Meskipun hubungan saya
dengan pasangan saya sudah tidak lagi seindah dulu, tapi ini adalah
satu hal yang benar-benar familiar bagi saya. Setelah
bergumul, akhirnya saya putuskan untuk memutuskan hubungan tersebut.
Anehnya, kali ini pasangan saya menerima keputusan saya. Tidak ada
paksaan, tidak ada ancaman bunuh diri.
Jawaban Itu Akhirnya Datang
Selepas
saya dari hubungan ini, kembali saya berseru pada Tuhan, “Saya sudah
mengikuti kehendakMu, sekarang apa yang harus saya lakukan?”. Tak lama
sesudah itu, saya menemukan sebuah buku karya Mario Bergner berjudul Setting Love in Order.
Mario adalah seorang eks-homoseksual dan dia menceritakan pengalamannya
keluar dari belenggu homoseksualitas dalam buku tersebut. Yang lebih
menyentuh saya sebetulnya adalah halaman terakhir dari buku itu. Di
sana terdapat daftar empat organisasi yang melayani masalah
homoseksualitas secara spesifik. Buku ini diterbitkan di Inggris, jadi tidak
aneh kalau tiga dari empat organisasi yang tertulis di situ berada di
Inggris sendiri. Namun anehnya, organisasi terakhir yang tertulis di
situ adalah organisasi yang berada di kota tempat saya berada saat itu
(di Australia). Dari begitu banyak organisasi yang tersebar di seluruh
dunia dan hanya organisasi di kota itu saja yang tertulis, saya tahu
ini adalah jawaban dari Tuhan. Tidak ada lagi yang bisa mengatur
semuanya ini seperti Dia.
Setelah
menghubungi organisasi tersebut, saya mulai mengikuti program konseling
secara pribadi dan grup. Di sinilah untuk pertama kalinya saya
benar-benar menerima Tuhan Yesus sebagai juru selamat saya secara
pribadi dan Dia mulai membukakan hal-hal mengenai masalah saya. Bahwa
saya tidak pernah dilahirkan sebagai seorang homoseksual, tapi hal ini
terjadi karena beberapa hal yang saya alami dan yang tidak saya dapatkan semasa saya bertumbuh sebagai anak laki-laki.
Homoseksualitas itu semacam pertumbuhan identitas seks kita (sebagai
pria ataupun wanita) yang terhambat. Setiap anak mempunyai kebutuhan
emosional yang harus terpenuhi semasa mereka bertumbuh. Kebutuhan ini
antara lain kebutuhan untuk merasa dicintai, diterima dan diberi
dorongan positif (affirmation) dari sesama jenis, supaya mereka bisa
bertumbuh secara percaya diri sesuai identitas seks mereka, baik
sebagai pria maupun wanita. Ini tidak terjadi pada saya. Jadi kebutuhan
saya untuk merasa dicintai dan diterima oleh sesama jenis ini terus ada
pada diri saya dan tidak terpenuhi. Walaupun hal ini tidak membuat saya
menjadi seorang homoseksual, tapi ini membuat saya menjadi tidak
percaya diri akan identitas saya sebagai seorang anak laki-laki. Saat
pubertas datang, saya mulai merasakan keinginan-keinginan yang berbau
seksual. Dan saat itu dalam pikiran saya terjadi semacam seksualisasi
antara keinginan seks dan kebutuhan emosional saya yang belum juga
terpenuhi. Inilah yang membuat saya tertarik pada sesama laki-laki.
Homoseksualitas
adalah masalah yang kompleks. Ada dua hal lain yang turut ambil bagian
dalam ketertarikan saya terhadap sesama jenis. Semasa saya kecil juga
tidak sedikit orang/anak-anak lain yang memanggil saya dengan sebutan
banci, gay dsb. Saat Anda berumur 6-7 tahun, tentunya Anda tidak kenal
siapakah diri Anda. Anda hanya akan tahu siapa diri Anda melalui apa
yang orang lain katakan mengenai Anda. Kalau banyak orang menyebut Anda
ganteng, tentunya Anda akan percaya bahwa Anda memang ganteng.
Sebaliknya, kalau banyak orang menyebut Anda sebagai banci, gay, dsb,
Anda juga mungkin akan percaya seperti yang mereka katakan.
Selain
itu, dengan terlalu dekatnya hubungan saya dengan kedua kakak perempuan
saya, saya jadi mengidentifikasikan diri saya seperti mereka. Merekalah
figur panutan saya, tanpa saya sadar. Hal-hal inilah yang membuat saya
mulai merasa tertarik terhadap sesama jenis secara seksual.
Jadi
saat saya memulai proses pemulihan, Tuhan mulai membuka masalah-masalah
di balik rasa ketertarikan saya terhadap sesama jenis tersebut. Saya
mulai mengerti bahwa arti proses pemulihan yang paling utama adalah bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional saya secara sehat.
Homoseksualitas hanyalah hal yang menonjol keluar. Namun di balik
homoseksualitas itu ada banyak kebutuhan, terutama kebutuhan emosional,
yang belum terpenuhi.
Seperti memotong
bawang, lapis demi lapis, saya harus mulai mengenal dan berusaha
memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak pernah terpenuhi sebelumnya.
Rasa kurang percaya diri sebagai laki-laki, rasa rendah diri, penolakan
diri, rasa iri terhadap apa yang laki-laki lain miliki, keinginan
mati-matian untuk dipuji oleh orang lain, kepahitan terhadap ayah dan
figur laki-laki yang saya kenal, dsb. Inilah sebenarnya hal-hal yang
harus dibereskan.
Proses ini tidaklah
mudah dan bahkan masih terus berlanjut sampai sekarang. Di awal proses
pemulihan, saya pernah sempat berpikir, asalkan saya sungguh-sungguh
mengikut Tuhan dan tidak kembali ke jalan saya yang lama, pastilah saya
bisa bebas dari semua masalah. Pemikiran yang bodoh. Bukankah Tuhan
Yesus sendiri berkata bahwa di dunia ini kita akan mengalami kesulitan
dan penganiayaan? Yesus tidak pernah menjanjikan kita tidak akan
mengalami masalah, tapi yang Dia janjikan adalah Dia akan selalu
bersama-sama kita, melewati gunung dan lembah kehidupan, bahkan di saat
kita tidak bisa merasakan lagi kehadiranNya.
Sekarang
saya juga sudah mulai mengerti arti laki-laki yang sesungguhnya. Arti
laki-laki secara sesungguhnya bukanlah dihitung dari kekuatan fisik
atau kesukaan laki-laki pada umumnya. Saya masih tidak tertarik pada
sepak bola atau bola basket dan saya masih menyukai hal-hal yang berbau
artistik. Bahkan profesi saya saat ini adalah seorang desainer grafis.
Tapi sekarang saya sadar bahwa ini tidaklah mengurangi kelaki-lakian
saya. Banyak hal lain yang lebih penting dalam “mengasah” sifat
kelaki-lakian saya, misalnya mengambil keputusan, siap bertanggung
jawab kalau sampai saya salah mengambil keputusan, dsb. Inilah arti
laki-laki yang sesungguhnya.
Langkah Selanjutnya…
Saya
sering mengibaratkan proses pemulihan ini sebagai lari jarak jauh. Saat
kita berlari jarak jauh dan di suatu point kita terjatuh, kita tidak
akan kembali lagi ke garis start, tapi kita akan bangun lagi dan terus
berlari sampai akhirnya tiba di garis finish. Saya tidak pernah
menyesali keputusan saya untuk meninggalkan jalan hidup saya yang lama.
Di tengah kesulitan saya, Tuhan Yesus selalu membuktikan bahwa Dia
adalah Tuhan yang setia dan tidak pernah meninggalkan saya. Dan
sekarang saya bisa merasakan kedamaian dalam hati saya di tengah setiap
pergumulan selama saya bersedia untuk mengikut Dia.
Saya
yakin ini bukanlah akhir dari kesaksian saya. Suatu hari saya berharap
kesaksian ini masih akan berlanjut karena saya sadar saya masih berada
dalam proses pemulihan dan masih banyak hal yang Tuhan akan kerjakan
dalam hidup saya. Semoga apa yang Anda baca ini bisa menguatkan Anda,
baik Anda yang sedang bergumul dengan masalah seksual ataupun masalah
lain. Tuhan Yesus mendengar isi hati Anda. Kalau Dia bisa membuka jalan
bagi saya, Dia juga pasti akan membuka jalan bagi Anda.